Info : Silahkan klik di SINI untuk membaca artikel versi wordpress dari Edo Rusyanto

Kamis, 15 Oktober 2009

Butuh Revitalisasi Sistem Transportasi Nasional


1001 Wajah Transportasi Kita:
foto:edo


”UNTUK melihat kemajuan perekonomian suatu kota, lihat saja sistem transportasinya. Semakin bagus sistem transportasi suatu kota, maka pertumbuhan ekonomi mereka pasti bagus.”

Hal itu terlontar dari Bambang Susantono, deputi Menko Perekonomian Bidang Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, di Jakarta, Kamis (15/10).
Sontak, hal itu membawa alur ingatan kita kepada sistem transportasi kota-kota besar di Indonesia. Jakarta menjadi figure yang paling mudah untuk dijadikan perbandingan. Kota berpopulasi sekitar delapan juta jiwa itu, tak henti-hentinya menjerit ketika memikul beban transportasi warganya. Maklum, Jakarta dihuni oleh sedikitnya enam juta sepeda motor dan sekitar tiga juta mobil. Padahal, jumlah jalan yang tersedia sekitar 7.650 km atau setara dengan 0,26% total luas wilayah Jakarta. Praktis, jalan-jalan di Jakarta disesaki oleh kendaraan.
Ironisnya, jalan di Jakarta menjadi ladang kecelakaan yang memilukan. Sepanjang dua tahun terakhir, rata-rata korban kecelakaan yang meninggal sebanyak tiga orang per hari. “Sebanyak 70% korban kecelakaan tersebut adalah para pengguna sepeda motor,” tulis Bambang, dalam bukunya “1001 Wajah Transportasi Kita” yang diluncurkan, Kamis (15/10), di Jakarta.
Pria yang mengantongi Master of Science in Civil Engineering, Transportation, dari University of California Berkeley, AS, pada 1998 itu, menekankan, demi keselamatan bersama, bukan hanya pemerintah atau penyedia angkutan jsa yang berkewajiban menekan angka kecelakaan transportasi. “Masyarakat pun dapat berperan sebagai ‘polisi’ untuk turut mengawasi dan memberikan sanksi demi lahirnya jasa transportasi yang sehat. Dan semua itu adalah untuk keselamatan bersama,” tulis Bambang.
Terkait kecelakaan di jalan, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa selama sistem transportasi yang aman, nyaman, dan terjangkau belum terwujud, angka kecelakaan belum bisa direduksi secara signifikan. Karena itu, Indonesia butuh grand design sistem transportasi yang andal. “Grand design transportasi ada, tapi tidak membumi,” ujar Bambang Soesantono yang juga Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI).
Hal itu, kata asisten Menteri Perhubungan, Abu Bakar, karena kurang sigapnya leadership di bidang transportasi. ”Butuh kepemimpinan yang kuat. Kita dorong angkutan umum dan mengurangi kendaraan pribadi. Jika sistemnya baik, masyarakat juga yang menikmati,” papar Abu Bakar yang juga mantan Direktur Jenderal Angkutan Darat, Departemen Perhubungan.
Tanpa grand design system transportasi yang bagus dan kemampuan kepemimpinan yang andal, kondisi kemacetan di jalan tak akan pernah mampu terurai. Karena itu, Bambang menekankan, ‘Jangan hanya bisa mengeluh macet.’
Karena itu, ujar dia, ke depan, harus ada revitalisasi sektor transportasi. ”Keamanan dan keselamatan merupakan concern transportasi yang nyaman,” paparnya. Bagi dia, revitalisasi jangan setengah hati.
Pada kesempatan terpisah, seperti dilansir Antara, Kamis, Anggota Komisi V (bidang perhubungan dan infrastruktur) DPR RI Sumaryoto menegaskan, kursi Menteri Perhubungan semestinya diisi oleh figur yang memahami betul penataan transportasi secara nasional agar target kecelakaan nol persen dapat tercapai.
Sumaryoto mengingatkan bahwa tugas penting menteri perhubungan baru nanti di antaranya adalah mengimplementasikan 4 (empat) UU di bidang transportasi, yaitu UU No. 27/2007 tentang Perkeretaapian dan UU No. 17/2008 tentang Pelayaran. Selain itu, UU No, 1/2009 tentang Penerbangan dan UU No 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Kurang Aksi

Bambang Susantono menilai, untuk mengurai benang kusut sistem transportasi dibutuhkan program aksi yang jelas. “Saat ini kita sudah terlalu banyak planning, tapi aksinya tak ada. Saya khawatir transportasi tidak lagi menjadi daya tarik lagi, tapi sudah menjadi liability,” katanya.
Menurut dia, sistem transportasi harus dibangun secara transparan dan dapat dipertanggungjawabkan (akuntabel). Contohnya di Amerika Serikat, walikota dan pejabat yang mengurusi transportasi di sana ikut naik angkutan publik untuk mengetahui dan merasakan langsung sistem transportasi publik di wilayahnya.
Mengenai model sistem transportasi yang cocok diterapkan di Indonesia, Bambang mengatakan, sejauh ini belum bisa dipastikan sistem transportasi yang terbaik, apakah diserahkan ke pasar atau dikelola pemerintah. “Saat ini masih mencari model,” katanya.
Soal kemacetan di Jakarta, Bambang menilai sebenarnya masih ada peluang untuk mengurainya dengan meciptakan angkutan umum yang aman, nyaman, tepat waktu, dan terjangkau.
Saat ini warga Jakarta sudah emmiliki rute busway terpanjang di dunia dengan lebih dari 100 km, membentang dari arah Timur-Barat dan Utara-Selatan Jakarta. Delapan koridor sudah beroperasi pada awal 2009 dan tidak kurang dari dua koridor lainnya sedang disiapkan. Dengan adanya busway, tidak sedikit pengendara mobil pribadi yang beralih menggunakan angkutan umum ini.
Namun, kata dia, keberadaan sistem angkutan umum ini belum dikomunikasikan secara luas dan berkesinambungan kepada masyaraat. “Tujuannya agar semakin banyak warga –khususnya target utama pengendara pribadi—yang sadar akan manfaat fasilitas ini demi kenyamanan mereka sendiri dan bukan karena keterpaksaan,” katanya.
Di tempat yang sama, pakar komunikasi politik Effendi Gazali mengatakan, setiap tahapan komunikasi punya tantangan sendiri dan komunikasi itu harus benar-benar tepat sasaran. Contohnya ketika program busway diterapkan, tidak sedikit yang menentangnya. Tapi dengan kegigihan Gubernur DKI Sutiyoso ketika itu, akhirnya sistem angkutan umum ini bisa berjalan. “Namun, seiring layanan busway yang menurun, masyarakat kembali mengecamnya,” ujar dia.
Sementara itu, mengenai rencana Pemda DKI menerapkan sistem angkutan massal subway, Effendi menilai setidaknya rencana angkutan ini memupuk asa di masa mendatang untuk mengurangi kemacetan. Pemerintah sebenarnya memiliki anggaran yang dapat digunakan untuk membangun sistem transportasi yang dapat mengatasi kemacetan. Tapi masalahnya, kemauan politik (politicall will) pemerintah masih rendah. “Karena itu, dibutuhkan kepemimpinan yang kuat untuk menciptakan sistem angkutan yang dapat mengatasi masalah kemacetan,” katanya. (Edo Rusyanto dan Nurjoni)

sumber: Investor Daily

0 komentar:

Posting Komentar

Terimakasih atas kunjungan sahabat ke blog ini, Silahkan tinggalkan komentar,kritik dan saran dibawah ini. Untuk menghindari SPAM mohon isi kata verifikasi sebelumnya,trims.

Related Posts with Thumbnails
 
Copyright 2009 Edo Rusyanto's Traffic. Powered by Blogger Blogger Templates create by Deluxe Templates. WP by Masterplan and Arrange by Ian