Info : Silahkan klik di SINI untuk membaca artikel versi wordpress dari Edo Rusyanto

Senin, 01 Juni 2009

C H A O

CHAO punya impian. Hidupnya digelimangi kasih. Terus berlayar di samudera biru nan damai. Tak ada lagi telunjuk yang menudingnya sekadar hura-hura di belantara megapolitan Jakarta. Kota yang baru saja ia rintis menggapai cita-cita.

***
Krismanda masih termanggu di meja kerjanya. Setumpuk laporan yang tersisa belum ia sentuh pagi itu. Matanya masih terfokus pada lembaran laporan milik salah satu stafnya. Sebuah laporan yang masih semrawut.
Aneka keganjilan mewarnai lembaran itu. Kening Krismanda, pria berusia 41 tahun yang belasan tahun di bisnis travel wisata itu, tak hentinya berkerut.
"Sisca, tolong panggilkan Chao ke ruangan saya." Pinta Krismanda kepada sekretarisnya.
Selang tiga menit gadis baru lulus dari universitas ternama di Paris van Java itu masuk ruang berukuran 2x3 meter. Ada dua kursi berhadap-hadapan dengan satu meja. Di sudut ruangan terdapat almari kaca yang berisi sejumlah buku. Lantainya beralaskan karpet biru, selaras dengan cat dinding, biru muda.
Chao menjelaskan terbata-bata pertanyaan dari atasannya. Sedikit parau. Ya. Laporan perjalanan mendampingi wisatawan mancanegara (wisman) asal Eropa saat mengunjungi Kampung Naga di kawasan Tasikmalaya, masih belum sempurna. Walau telah mengikuti training, dunia yang dihadapinya berbeda dengan dunia kampus. Peluh pun mengucur. Ada rasa grogi. Walau akhirnya, sang atasan meminta ia memperbaiki laporannya. "Saya tunggu besok." Sergah Krismanda.

***

Uap belerang terasa memadati rongga hidung. Meski udara terasa sejuk, cuaca siang itu di ketinggian 2.000 di atas permukaan laut membuatnya gerah. Maklum, Chao harus menapaki jalan menuju Kawah Domas. Jarak kawah yang masih aktif di Gunung Tangkuban Perahu, Bandung, Jawa Barat itu, salah satu kawah favourit yang disingahi wisman. Jarak kawah dari lokasi parkir sekitar satu kilometer. Jalan menurun, bahkan ada yang nyaris vertikal 45 derajat. Banyak wisman yang bermandi lumpur belerang. Ada juga yang menikmati indahnya pemandangan sambil merebus telur yang dibungkus plastik.
Belum saja mendekati lokasi kawah, Chao tergelincir. Jemari lentiknya sempat meraih ranting kayu yang berjuntai di jalan setapak berbatu. Tapi ranting tak mampu menahan bobot Chao. Darah mengalir dari lecet di siku dan lututnya. Butiran pasir dan kerikil bertebaran di sekitar luka. Belum sirna rasa shock akibat jatuh, tiba-tiba ia dikagetkan
suara seorang pria. "Saya ada obat luka luar, sekilas sih gak berbahaya," seloroh suara tersebut.
Hampir jantung Chao berhenti berdenyut. Di hadapannya ada pria tampan, muda, dan energik. Bak terhipnotis, ia mengikuti saja gerakan pria itu. Sesekali Chao mencuri pandang. Usai memberi obat luka luar di lutut dan siku Chao. Pria itu bergegas. ”Terimakasih,” seru Chao.

***
Rombongan bule yang didampingi Chao bersiap-siap menaiki bus menuju kota Bandung setelah seharian berkubang di lumpur belerang Kawah Domas, Tangkuban Perahu. Tiba-tiba sudut mata Chao menangkap sosok yang membantunya mengatasi luka saat tergelincir. Ingin ia turun dari bus dan berkenalan. Tapi, sosok itu melaju di atas motor sport, lengkap dengan helm full face, sarung tangan, sepatu, dan jaket. Tertulis ”Brotherhood Forever” di bagian belakang jaketnya. ”Hemmm...andai aku bisa duduk di belakangnya,” gumam Chao.
Perjalanan menuju kota Bandung cukup lancar, hanya tersendat di sekitar pasar Lembang hingga ke Sukajadi.

***
Chao marah besar. Andyan, pujaan hatinya kembali ingkar. Kali kelima dalam pekan ini Andyan melupakan janji untuk mengantarnya ke toko buku. ”Mamah minta diantar ke rumah temannya.” Seru Andyan via ponsel, saat ditanya kenapa tidak jadi mengantar. Hari Minggu yang kelabu bagi Chao. Ia memacu City silvernya ke pusat perbelanjaan di tengah kota. Siang itu lalulintas cukup padat. Sekitar satu jam, ia baru tiba di parkiran.
Sebelum menuju toko buku, ia mampir mencari sepatu sport. Miliknya yang lama dah usang. Maklum, sering dipakai mengantar turis ke tempat wisata. ”Ada yang bisa dibantu kak?” Suara seorang pria membuyarkan lamunan Chao.
”Loh kamu ada di sini?” Seru Chao, kala menatap wajah yang sekitar tiga bulan lalu membantunya di Tangkuban Perahu.
”Hemmm...Ya, saya bekerja di sini.”
”Gak usah panggil kakak, rasanya usia kita sebaya.”
Usai membayar di kasir, Chao berniat menemui Sinto, pria atletis yang mencuri perhatiannya. ”Kapan-kapan boleh ketemuan?”
Sinto tersenyum hanya memberi secarik kertas berisi deretan angka, nomor telepon seluler.
Chao berbunga-bunga hingga lupa mau ke toko buku.

***
Tiga bulan sudah Chao berteman dengan Sinto. Ada sesuatu yang lain. Ada rasa nyaman saat berbincang. Ada rasa aman saat berjalan. Ada ruang hatinya yang kembali terisi. Ia khawatir jatuh cinta kepada pria yang gemar bepergian dengan sepeda motor itu. Walau kini statusnya jomblo, ia masih trauma atas perlakuan Andyan. Pria yang selama dua tahun melekat di hatinya. Sinto memiliki kepribadian yang lebih tegas. Wajah tampan, tubuh atletis. Sesekali suka egois.
Suatu sore Chao kangen. Ia pun meraih ponsel. Panggilan pertama tidak diangkat. Panggilan kedua. Barulah pada panggilan kelima.
”Apa kabar Sin?”
”Baik...” Ada nada berat dari seberang sana.
”Kamu sakit? Kok suaranya kayak lemas gitu,” cerocos Chao.
”Sudah tidak.”
”Berarti sebelumnya sakit?”
”Iya.”
”Aku boleh ketemu gak malam ini?”
”Boleh, mampir saja ke rumah ku. Tapi....” Suara itu terhenti.
”Tapi apa? Jangan bikin penasaran dong,” seru Chao.
”Aku boleh minta tolong?” Pinta Sinto.
”Ya boleh dong say. Apa nih yang bisa aku bantu?”
”Kamu ingat belokan jelang rumah ku, nanti temui aku dulu di situ sebelum ke rumah ku, memang agak gelap. Oh ya, aku minta tolong dibelikan obat maag dan pita kuning yah.”
Perbincangan terhenti. Chao sudah sangat senang. Pikirannya sudah sampai ke malam nanti.
Usai membeli pesanan Sinto, ia memacu City-nya. Tempat bertemu yang dimaksud Sinto terlihat gelap karena tidak penerangan jalan, di sisi kanannya ada pohon asem rindang. Hati kecilnya kecut juga. Ia hanya bertanya-tanya, apa-apaan sih Sinto. Bukannya langsung aja ke rumah dia yang berjarak sekitar 300 meter lagi. Chao turun dari mobilnya, berdiri di bawah pohon asem yang di sebelahnya ada sisa bangunan bekas pos hansip yangsudah tidak dipakai lagi. ”Hai...” Suara Sinto membuyarkan lamunan Chao.
”Hai juga, ngagetin aja,” seru Chao.
”Dah bawa pesanan ku, nanti tolong kasih mamah yah, pitanya pesanan Nyta.” belum lagi Chao menjawab, Sinto melengos di balik kegelapan. ”Aku ambil motor yah, kutunggu di rumah,” ujar pria itu kalem.
Rasa penasaran Chao kian menjadi. Apa-apaan sih anak ini? Apa mau bikin surprise.
Hati Chao campur aduk. Di pekarangan rumah Sinto banyak orang berkerumun. Duduk di atas kursi yang dijajarkan di halaman. Ada bendera kuning. Saat kakinya memasuki pintu ruang tamu, tubuhnya bergetar. Ada apa dengan mamah Sinto?
”Halo mbak Chao,” sapa Nyta, adik Sinto.
“Ada apa Nyt, ini aku bawakan obat maag dan pita pesanan kak Sinto.”
Tak ada yang menjawab, orang di sekitar Nyta saling berpandangan. Menatap aneh ke Chao.
”Mbak...kak Sinto sudah tiada.” Suara lirih Nyta terdengar kian mengecil.
Seketika kepala Chao pusing. Bumi terasa berputar lebih cepat. ”Tidak mungkin, tadi aku bertemu di belokan jalan sana, di bawah pohon asem,” sergah Chao yang terduduk lemas di kursi.
”Malahan dia titip obat maag dan pita.”
Tiba-tiba papahnya Sinto sudah di samping Chao. Ia menjelaskan, ”Sinto ditabrak truk di belokan itu. Ia tergelincir karena pasir dan kerikil, apes saat terjatuh datanglah truk itu. Sinto lupa tak memakai helm.”
Nyta menuturkan, ”Saat kecelakaan, kak Sinto hendak membeli obat maag untuk mamah dan pita untuk Nyta. Kedua barang itu tidak pernah sampai ke rumah, motornya terjatuh saat ia menuju apotek.” (edo)

0 komentar:

Posting Komentar

Terimakasih atas kunjungan sahabat ke blog ini, Silahkan tinggalkan komentar,kritik dan saran dibawah ini. Untuk menghindari SPAM mohon isi kata verifikasi sebelumnya,trims.

Related Posts with Thumbnails
 
Copyright 2009 Edo Rusyanto's Traffic. Powered by Blogger Blogger Templates create by Deluxe Templates. WP by Masterplan and Arrange by Ian