Tinggal di metropolitan yang kerap dipelesetkan metroprosetan, gadis itu harus lincah bak rusa menghindar terkaman harimau yang mengendap di balik belantara beton. Sesekali, sang rusa berlari.
* * *
Menjelang senja, kala sang surya memperlemah kegarangannya, sang gadis asyik mahsyuk dengan perangkat teknologinya. Era digital menyediakan aneka prasarana penutup kekosongan hati. Jejaring teknologi internet merajut persahabatan kasat mata lewat dunia maya. Dua atribut kondang adalah Yahoo Messenger dan Facebook. Pada dua fitur itu, kerap sang gadis menumpahkan beragam gejolak hati. ”Pagiku indah,hariku cerah..Terimakasih untuk hidup yang baru. Ayo semangat.” Seuntai kalimat ia torehkan di jagat maya. Rangkaian ungkapan yang menyiratkan upaya menggugah diri untuk tetap bersemangat. Kesepian terbayar lewat jejaring teknologi.
”Saya ingin bermanfaat bagi banyak orang.” Sergah sang gadis suatu malam. Banyak asa terbenam dalam benak dia. Fasha, pria yang diajak bicara sang gadis sesekali mengalihkan pandangannya ke arah bintang yang berkedip di atas sana. ”Bagaimana caranya?” Seloroh yang pria.
Sang gadis yang mendapat pertanyaan itu tampak bergairah.
”Banyak. Tapi saya memilih satu cara.”
”Hemmm...”
”Suatu ketika, diusia tigapuluhan, aku harus mapan. Membuka pekerjaan untuk banyak orang. Hebatkan?” Wajah sang gadis berbinar memaparkan impian hatinya.
Sang pria mencoba mencerna impian gadis di depannya yang kini baru jelang 25 tahun. Tangannya meraih gelas teh hangat yang terhidang di meja kedai tepi jalan tanpa tenda itu. Isapan rokok terasa berat. Ada rasa haru atas asa sang gadis. ”Suatu niat mulia.” Gumamnya dalam hati.
”Hei, kenapa melamun.” Goda sang gadis, sambil menikmati kudapan pisang goreng hangat. Dingin udara malam itu lenyap oleh kehangatan perbincangan.
”Aku hanya merenung, sungguh mulia cita-citamu.”
Perbincangan mengalir hingga terhenti karena rintik gerimis kian membesar. Mereka harus menggeser posisi duduk, di bawah tenda. Lewat tengah malam, mereka memutuskan pulang. Gerimis sudah reda.
***
SIANG baru saja merangkak ke senja. Sang gadis tergopoh-gopoh. Tangannya sibuk mencari kunci kamar kos dari dalam tas. Tidak butuh waktu lama, pintu ruangan 3x3 meter itu terkuak. Dengan sedikit keras ia membanting pintu. Penuh emosi. Tubuh rampingnya ia jatuhkan di atas kasur. Tas kulit mungil ia lemparkan ke sisi tempat tidur. Sepatu belum sempat ia lepaskan. Pilihannya justeru meraih bantal bermotif bunga. Menutupi wajah yang kini mulai bersungai air mata.
Kesedihan menggayuti hati. Ia marah. Pria pujaannya didapati memiliki tambatan hati lain. Kepercayaan yang selama ini dibangun luluh lantak. Yang tersisa hanya dusta.
Tak berapa lama, pintu terdengar diketuk. ”Siapa?” tanya sang gadis.
”Aku, Fasha.”
”Untuk apa kemari?”
”Menjelaskan duduk masalah,” jawab suara di balik pintu.
Kemarahan sang gadis tampaknya sudah memuncak. Dirinya bergeming. Sesaat kemudian terdengar langkah kaki, menjauh dari pintu.
***
Kegalauan sang gadis bukan baru sekali. Peristiwa beberapa hari lalu merupakan puncaknya.
Pagi ini ia agak bergegas. Matanya terasa berat. Semalam tidur agak larut. Dalam rasa kantuknya ia menggugah semangat. ”Ayo bersemangat untuk jalani hari yang baru ini. Dia tak pernah menutup mata, telinga, dan hati-Nya untukku.”
Jarum jam menunjukkan pukul 07.27, artinya tersisa 33 menit untuk tiba di kantor. Sang gadis memilih ojek sebagai alternatif. Pagi ini, ada berkas kerja yang harus ia serahkan kepada sang manajer.
”Bang, ada helem buat saya nggak?” sergah sang gadis.
Tukang ojek yang ditanya hanya menggeleng. Justeru melontarkan kata, ”Makanya beli sendiri, mau naik nggak. Cerewet.”
Sang gadis melirik kanan kiri, para tukang ojek lainnya sibuk menawarkan jasa kepada calon penumpang. Bahkan, sesekali saling berebut.
”Mau naik gak? Saya cari penumpang lain nih?”
Tanpa fikir ulang, sang gadis bergegas naik ke atas sadel lusuh motor keluaran awal 2000 itu. Waktu yang tersisa kian tipis untuk tiba di kantor. Suasana hatinya menjadi bertambah panas karena ulah tukang ojek yang menyepelekan vitalnya helm bagi perlindungan kepala. Terngiang di benak sang gadis bahwa korban tewas akibat kecelakaan sepeda motor adalah karena luka di kepala. Korban tidak terlindungi oleh helm yang berkualitas bagus. Panas hati sang gadis bak suasa tengah hari di kosnya. Ia selalu merasa ingin melarikan diri dari kos yang panasnya kayak di sauna. Paling banter ia mendinginkan tenggorokan dengan Dancow strawberry plus Milo, meskipun dari segi warna ia merasa tidak menjanjikan.
Tukang ojek sibuk berkelit di sela semrawutnya ribuan kendaraan jalan raya Jakarta. Sesekali ia mengumpat kesal. Sang gadis kian was-was. ”Bang jangan ugal-ugalan dong.” Pinta dia.
Bukannya mengiyakan sang tukang ojek justeru asyik memacu. Hingga akhirnya. Bruakkkk!!!!
***
Fasha hanya menatap sayu nisan berwarna abu-abu terbuat dari pualam itu. Di bawah sana tergolek gadis yang ia cintai. Gadis yang sesungguhnya pelabuhan hati. Belum sempat ia menerima maaf atas kekeliruan belakangan ini. Tiga hari setelah kecelakaan, sang gadis menderita koma. Luka di kepala membuatnya tak mampu berkata-kata. Hingga akhirnya, sang Khalik memanggilnya.
Fasha tak kuasa menahan derasnya air mata. Ia ingat saat-saat manis. Ketika pertamakali bertemu. Gadis itu gigih dalam bekerja. ”Buat mencari sekarung gandum....” seloroh sang gadis ketika ditanya demikian giatnya bekerja. Padahal, selayaknya gadis lajang, bungsu dari dua bersaudara, meski merantau perhatian orang tua bakal memanjakan. Terlebih sang kakak yang sebenarnya tinggal tak jauh dari kosnya.
Nasib berkata lain, kini, cita-cita sang gadis untuk membuka kesempatan kerja bagi orang lain sudah sirna. Ia tertidur lelap di samping Nya.
Fasha baru saja melangkah beberapa meter ketika terdengar sayup-sayup sapaan yang amat ia hafal. ”Om... helm nya ketinggalan...” ujar seorang gadis kecil menggunakan pita merah di rambutnya. (edo)
3 komentar:
Dasar tukang Ojek sial! hmm..sulit jg yah klo dalam kondisi seperti yang dialami oleh si Gadis, ngomong2 siapa nama si Gadis? btw ini kisah nyata atau fiksi bang? keren!! two thumbs up!! boleh saya repost di web saya ga bang Edo?
Regards,
halo ian...hanya rekaan alias fiksi. he he he...skadar propaganda memakai helm via cerpen. silakan saja di repost. salam
Thank you bang Edo, keren banget..menggugah hati untuk selalu inget pake helm walau dalam kondisi apapun ketika berkendara. thanks again ya. regards.
Posting Komentar
Terimakasih atas kunjungan sahabat ke blog ini, Silahkan tinggalkan komentar,kritik dan saran dibawah ini. Untuk menghindari SPAM mohon isi kata verifikasi sebelumnya,trims.