Info : Silahkan klik di SINI untuk membaca artikel versi wordpress dari Edo Rusyanto

Senin, 15 Juni 2009

Moge dan Mocil

foto:edo


AWAL pekan ini mencuat lagi sorotan terhadap perilaku pengendara sepeda motor besar. Pengendara motor (bikers) mencacimaki dan memukuli seorang pengendara mobil, di kawasan Cisarua, Bogor. Kasusnya kini ditangani Polsek Cisarua, Bogor.

Di belantara persepedamotoran, ada istilah motor gede (moge). Istilah ini cukup kondang. Tampilannya amat mencolok. Dari segi tongkrongan, kapasitas mesin motor kelompok ini mulai dari 400 cc hingga 1.000 cc. Bentuknya yang tambun tentu amat mencolok mata jika berseliweran di jalan. Dari sisi pengguna, saat ini mayoritas dari mereka adalah masyarakat berkocek tebal. Maklum, harga moge, terlebih besutan Eropa dan Amerika Serikat (AS), paling murah Rp 300 juta. Hemmm...Tak heran penggunanya dari level pengusaha, pejabat, selebritas, hingga para pensiunan jenderal.

Di luar moge, populasi paling dominan di Tanah Air adalah sepeda motor berkapasitas mesin 100-250 cc. Jika 400 cc keatas dijuluki moge, semestinya kelompok ini dijuluki motor kecil (mocil). Dari populasi sepeda motor yang ditaksir sekitar 50 juta unit, kelompok ini bisa mencapai 99%.

Sinisme terhadap pengendara (bikers) moge beraroma kecemburuan sosial ekonomi. Tak pelak, sedikit saja perilaku menyimpang, seperti memukul pengendara mobil, mereka menjadi komoditas pemberitaan. Santapan empuk pers.

Dalam kasus arogansi pengguna jalan, sejatinya bukan monopoli bikers moge, bikers mocil pun amat meruyak. Termasuk pengendara mobil pribadi dan angkutan umum.

Arogansi mocil yang menimbulkan korban luka bahkan korban jiwa, sempat mencuat di pemberitaan media massa seperti yang terjadi di Bandung, Subang, dan Garut. Sedangkan arogansi mocil juga terlihat saat konvoy. Meminta prioritas jalan dan menutup jalan.

Emosi Tersulut

Persoalannya, kenapa emosi mudah disulut? Tekanan ekonomi, sulitnya hidup karena krisis finansial global menyeret anarkisme? Semrawutnya lalu lintas jalan membuat bikers tak sabaran, sehingga mencoba mencari jalan pintas menerbas aturan lalin? Lalu ketika terjadi benturan, menjadi api kecil yang menyulut bensin emosi terpendam?

Para psikolog dan ahli ilmu sosial mungkin bisa menjelaskan secara ilmiah.

Sebagai pengguna jalan yang sehari-hari menggunakan sepeda motor kecil, penulis menghirup aroma mudahnya para bikers terprovokasi. Tak heran jika angka korban kecelakaan di jalan di Jakarta dan sekitarnya terus membubung. Sepanjang Januari-Juni ini saja, sudah 77 korban jiwa dan 254 korban luka ringan dan parah. Itu baru angka yang tercatat.

Arogansi bersemayam di mana-mana, bikers mocil, moge, mobil pribadi, dan angkutan umum. Sampai kapan ini berlarut? (edo rusyanto)

0 komentar:

Posting Komentar

Terimakasih atas kunjungan sahabat ke blog ini, Silahkan tinggalkan komentar,kritik dan saran dibawah ini. Untuk menghindari SPAM mohon isi kata verifikasi sebelumnya,trims.

Related Posts with Thumbnails
 
Copyright 2009 Edo Rusyanto's Traffic. Powered by Blogger Blogger Templates create by Deluxe Templates. WP by Masterplan and Arrange by Ian