Info : Silahkan klik di SINI untuk membaca artikel versi wordpress dari Edo Rusyanto

Senin, 09 November 2009

Bikers Metropolis 2012




foto:edo


INI kisah si Polan, bikers metropolitan. Kalender di dinding menunjukkan, tahun 2012. Saat itu, UU No 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) sudah diimplementasikan. Si Polan sibuk menghitung-hitung. “Banyak banget dendanya yah?” Gerutu si Polan dalam hati.

Ia setuju, aturan yang keras untuk meredakan laju kecelakaan di jalan, terlebih korban dari kalangan pengguna sepeda motor (bikers). Namun, denda yang mengancam bikers bisa menguras kantong. Mulai dari ke luar rumah, sampai balik lagi ke rumah. Tentu, hal ini khusus buat bikers yang ugal-ugalan.

Suatu pagi. Si Polan bersiap-siap. Setelah memanaskan mesin, motor underbone dengan knalpot bersuara garang pun melenggang menuju jalan raya. “Knalpot bersuara keras agar pengguna jalan tahu kehadiran motor gue,” kata si Polan.

Baru saja melenggang di jalan, knalpot yang garang tadi sudah bawa masalah. Terjaring UU No 22 tahun 2009. Tengok saja Pasal 285 ayat (1) kurungan paling lama satu bulan atau denda paling banyak Rp 250 ribu. Duh, pagi-pagi dah kena Rp 250 ribu. Saking sewotnya, si Polan memacu underbone-nya gak tahu juntrungan. Ngepot. Ehh..kedubrak. terperosok karena ada pasir. Untung gak luka parah, Cuma lecet di jemari. Walahhh...spion pecah dua-duanya. Patah pula lagi. Ya sudah. Berjalan perlahan sambil coba nyari bengkel terdekat buat beli spion.

Belum juga ketemu bengkel penjual aksesoris. Ia tercokok lagi. Ternyata, ada aturannya di pasal 285 ayat (1) kurungan paling lama satu bulan atau denda paling banyak Rp 250 ribu. Ya pilih denda aja deh. Masa harus meringkuk di hotel prodeo.

Pagi terus merangkak. Jam menunjukkan pukul 07.45 WIB. Si Polan terus menggerutu. Sudah setengah juta perak harus melayang dari dompetnya. Makin tipis aja deh. Padahal, dah dua bulan belum bayar cicilan. “Bangkrut deh gue,” gerutunya dalam hati.

Di jalan raya banyak kendaraan. Mereka tersendat di pertigaan atau perempatan. Paling banter cuma 20 kilometer per jam. Setelah melewati kemacetan ada ruang sedikit. Pacu gas. Sedikit lega, angin menerobos masuk lewat celah di jaket. Apes. Kena setop lagi. “Cuma gara-gara gak nyalain lampu utama?” Tanyanya dengan nada jengkel.

Ancamannya ada di pasal 293 ayat (1) kurungan paling lama satu bulan atau denda paling banyak Rp 250 ribu. Kena lagi dua ratus lima puluh ribu perak.

Perut yang baru diisi sepotong roti jadi tambah laper. Sudah tiga kali kena sempritan. Underbone terus dipacu. Memasuki perempatan jalan. Ratusan kendaraan tumplek. Tengok kanan tengok kiri, aman. Lagi asyik berhenti di belakang garis putih. Puluhan motor di belakang terus mendesak. “Majuan dong, di belakang macet neh,” teriak seorang bikers dengan jaket hitam. Si Polan diam aja. Tapi hatinya jadi mendidih. Karena sudah belasan yang teriak ke dia. Mau gak mau. Dia beringsut. Berhenti persis di atas zebra cross. Malang tak bisa ditolak. Ia kena semprit lagi. Terpaksa mengaku salah. Maklum, pasal 287, bilang, ancamannya kurungan paling lama dua bulan atau denda paling banyak Rp 500 ribu.

Polan kian geram. Jarak ke kantornya masih sekitar tujuh kilometer lagi. Tapi masih harus menemui antrean alias kemacetan di setiap lampu merah yang bakal dilalui.

Jarum jam menunjukkan pukul 08.25 WIB, artinya, masih ada 35 menit sebelum jam masuk kantor. Ia pun memacu underbone birunya. Motor merek Jepang itu melaju terseok-seok. Persis kurang lima menit, ia sudah tiba di kantor. Usai parkir, melenggang masuk ruangan kantor. Tentu, segudang rasa gundah menggelayut. Empat kali kena semprit, Rp 1,25 juta harus melayang.

Sang bos meminta ia menuju sebuah pertemuan di kawasan segitiga emas Jakarta. “Ini rapat penting, jangan terlambat yah,” kata sang bos. Si Polan cuma mengangguk. Ia pun melesat. Masih dengan underbone-nya.

Jam setelah makan siang jalan raya Jakarta tak sepadat pagi hari saat berangkat kerja. Polan jadi ingat sebuah kabar bahwa mayoritas kecelakaan di jalan Jakarta terjadi antara pukul 06.00-12.00. Jalan yang sedikit lengang mendorong Polan membejek pedal gas dengan leluasa. Jelang sebuah perempatan ia lihat lampu menyala kuning. Tapi sudah tanggung, ia bejek kuat-kuat pedal gas. Supaya tak terjebak antrean. Apes. Lampu berwarna merah, ia melewatinya. Benar saja.

Ancamannya, ada diasal 287, kurungan paling lama dua bulan atau denda paling banyak Rp 500 ribu. Polan pasrah.

Keringat meleleh. Pengap karena terik matahari membuat suasana hati bertambah gundah. Polan sedikit panik. Tinggal 25 menit lagi waktu untuk mencapai lokasi rapat. Ia pun melaju. Lumayan, sekitar 60 kpj. Meliuk di antara belantara kendaraan. Kadang, ia mendahului dari sisi kiri jalan, memotong ke kanan. Sampai suatu ketika....

”Anda tahu pasal 300? Ada ancaman kurungan paling lama satu bulan atau denda paling banyak Rp 250 ribu bagi perilaku menyalip dari kiri dan zig zag seperti Anda?”

Tubuh Polan terasa lemas. Tapi apa daya, waktu semakin mepet. Peluh terus membanjiri tubuh saat ia tiba di gedung perkantoran tempat rapat siang itu. Suasana tempat rapat yang berpendingin ruangan sedikit menyejukan hati. Polan mengikuti rapat dengan hambar.

Usai rapat ia tancap gas. Jam menunjukkan pukul 15.30 WIB. Ia harus merapat ke kantor. Kali ini ia cari jalan pintas. Agar bisa lebih cepat tiba. Jalan tikus ia lewati. Hingga suatu perempatan, ia tak melihat tanda larangan melintas. Jadilah ia melawan arus. Ia pun berjalan perlahan di sisi jalan. Di ujung jalan ia berhadapan dengan aparat.

Polan pun kenal pasal 287 ayat (1) kurungan paling lama dua bulan atau denda paling banyak Rp 500 ribu. Tak ada umpatan yang terlontar dari mulut si Polan. Ia hanya menarik nafas panjang.

Baru saja berjalan beberapa ratus meter, ponsel-nya berdering. Sekali ia diamkan. Dua kali, tiga kali, dan hingga kali keempat. Terpaksa ia angkat. Ponsel besutan Cina itu ia selipkan di antara helm. Rupanya dari kantor. ”Sebentar lagi aku sampe kantor kok,” ujarnya singkat.

Nyaris saja ia menyenggol sepeda motor sport buatan Jepang. Sang biker sewot. Terjadilah perang mulut. Ponsel masih menyelip di helm. Sang petugas yang menghampiri langsung mencokoknya dengan pasal 283, kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling banyak Rp 750 ribu.

Polan benar-benar geram. Satu hari yang menyesakkan. Setiba di kantor dan melapor ke bos soal hasil rapat. Ia meneguk segelas air putih dingin. Sekadar mendinginkan tenggorokan dan pikiran yang kalut. Bertubi-tubi. Kena UU No 22 tahun 2009. ia tak habis fikir, apa yang ada di benak para wakil rakyat saat menyusun undang undang itu.

Sore menjelang. Jarum jam menunjukkan pukul 17.00 WIB. Polan berkemas, menuju rumah idaman. Ketemu anak isteri.

Setumpuk kertas tilang senilai Rp 2,75 juta terselip di tas ranselnya. Polan hanya merenung. ”Mas aku boleh nebeng gak,” tiba-tiba suara Nita, rekan sekantornya. Kebetulan satu arah.

”Boleh aja, asal pakai helm.”

Helm half face yang ditunjukkan Nita membuat Polan mengiyakan rajukan gadis lulusan universitas di Kota Kembang itu.

Suasana jalan Jakarta padat merayap. Polan pun tak neko-neko. Ia sudah merasa kapok dengan segepok surat tilang yang ada di tasnya. Namun,.....

”Sore Pak. Penumpang Anda tidak memakai helm standar, terpaksa kami tilang.”

Dunia terasa berputar lebih cepat. Polan tak bisa menolak saat melihat pasal yang digunakan. Pasal 291 ayat (2) yang menyebutkan ancaman kurungan paling lama satu bulan atau denda paling banyak Rp 250 ribu.

Nita hanya meminta maaf kepada Polan. Sang bikers hanya mengangguk. Mereka berpisah di sebuah pangkalan ojek. Nita melanjutkan dengan ojek.

Polan tiba di rumah dengan hati tak karuan. Terbayang ancaman denda yang mencapai total Rp 3 juta sudah menanti. (edo rusyanto)

0 komentar:

Posting Komentar

Terimakasih atas kunjungan sahabat ke blog ini, Silahkan tinggalkan komentar,kritik dan saran dibawah ini. Untuk menghindari SPAM mohon isi kata verifikasi sebelumnya,trims.

Related Posts with Thumbnails
 
Copyright 2009 Edo Rusyanto's Traffic. Powered by Blogger Blogger Templates create by Deluxe Templates. WP by Masterplan and Arrange by Ian