Info : Silahkan klik di SINI untuk membaca artikel versi wordpress dari Edo Rusyanto

Selasa, 27 Januari 2009

Perjalanan Jakarta-Bandung-Tangkuban Perahu (bagian keempat-habis):











SUARA dering telepon di kamar hotel membangunkan kami. Suara di ujung telepon menyebutkan jadwal sarapan dan jadwal keluar hotel. Minggu (25/1), pagi itu sekitar pukul 08.00 WIB, badan terasa lebih ringan. Segar rasanya walau tidur sekitar 5 jam. Maklum, sehari sebelumnya hanya tidur 2 jam. Setelah cuci muka dan menyantap pisang goreng sisa semalam, saya dan Jun meluncur menuju restoran Koi, Grand Seriti. Kami memasuki ruangan restoran yang tergolong luas itu tepat pukul 08.30 WIB dan nantinya keluar pada pukul 09.50 WIB. Menu sarapan di restoran bervariasi, mulai dari menu Indonesia, Eropa, hingga menu Asia. Saya memilih menikmati omelet (telur dadar dengan isi aneka sayuran dan daging), sosis, mie goreng, dan nasi goreng plus jus punch. Usai makan, sambil menghabiskan dua batang rokok, kami ngobrol dengan seorang teman dari Jakarta.
Matahari kian meninggi saat kami meninggalkan hotel. Sempat berpose sebelum meluncur. Seorang satpam menjadi korban kami untuk memotretkan dua bikers narsis dari Jakarta. Kami melenggang meninggalkan hotel pada 11.15 WIB. Dari Jl Hegarmanah kami melintasi Cihampelas, niatnya menuju Gedung Sate, gedung pusat pemerintahan kota Bandung. Gedung yang dibangun pada 27 Juli 1920 oleh penjajah Belanda itu menjadi ikon kota Bandung yang kini berpopulasi sekitar 2,3 juta jiwa.
Sepanjang Cihampelas yang terkenal dengan pusat jeans, lalin macet total. Kecepatan motor kami hanya 20/kpj. Harus cermat meliuk-liuk di sela beragam kendaraan pribadi yang didominasi pelat B. Puluhan bahkan ratusan kendaraan parkir di sisi jalan yang berjajar aneka toko, mulai factory outlet, resto, kerajinan hingga jeans. Terlihat juga kendaraan bus pariwisata pelat A (Banten) parkir sambil menurunkan wisatawan domestik (wisdom). maklum pekan ini libur panjang karena Senin (26/1) libur nasional Imlek, hari tahun baru Cina.
Perjalanan menuju Gedung Sate macet. Persis di atas jembatan Pasupati, Jun memberitahu bahwa Minggu pagi hingga pukul 12.00 WIB di sekitar gedung tersebut digelar pasar kaget. Praktis jalan di sekitarnya macet total. Jadilah niat kami batal ke sana dan balik kanan menuju Lembang.
Memasuki Jl Setiabudi menuju Lembang lalin macet. Lagi-lagi kendaraan wisdom memadati jalan yang menuju kawasan rekreasi Lembang. Kali ini mobil berpelat B juga mendominasi namun ada juga pelat A,E (Cirebon), KB (Kalimantan),bahkan BK (Sumatera). Cuaca cerah bahkan cenderung terik. Hingga jelang Jl Raya Lembang kemacetan masih terasa. Di kiri kanan jalan aneka spanduk kampanya calon legislatif (caleg) untuk DPRD dan DPR, ramai menghiasi trotoar demikian juga aneka bendera partai.
Lepas Rumah Sosis, pusat jajanan aneka sosis, jalan ramai lancar, motor kami bisa berpacu 40-60 kpj. Terlihat satu-dua delman melintas mengangkut penumpang dari dan menuju pasar. Angkutan tradisional itu harus bersaing dengan angkutan perkotaan yang bertenaga mesin.
Kami melepas penat di alun-alun diklat Lembang. Kesempatan ini dimanfaatkan untuk membeli rokok, panganan kecil, dan air mineral. Pukul 12.45 WIB kami berangkat lagi menyusuri Lembang menuju gunung berapi, Tangkuban Perahu. Sekitar 16 menit, persisnya pukul
13.01 WIB, kami tiba di gerbang tempat rekreasi populer tersebut. Sempat berfoto-foto sebentar. Kami dikenai tarif tiket masuk Rp 33 ribu terdiri atas Rp 12.500 untuk masing-masing pengunjung dan Rp 4 ribu untuk tiap motor.



Di sela berfoto, kami melihat rombongn calon karyawan PT Perumka Bandung yang sedang digembleng latihan dasar militer oleh anggota TNI dari Pusdik Bandung. Menurut seorang instruktur, latihan di bawah rerimbunan hutan pinus di dekat gerbang itu ada 300 calon karyawan dari total 600 calon karyawan lapangan Perumka. Petugas di pintu gerbang mengatakan, jarak dari gerbang menuju kawah sekitar 5 km. Hampir 14 menit kami istirahat. Persis pukul 13.15 WIB, kami berangkat menuju kawah.
Jalan berkelok menanjak sepanjang 5 km. Sekitar 3 km berlubang dan berbatu, sesekali kami juga menemui kumbangan air berwarna coklat. Sempat kami berpapasan dengan beberapa wisatawan yang berjalan kaki dari arah kawah dan beberapa pengunjung yang berpose mengambil gambar di tengah jalan. Kecepatan hanya bisa dipacu 20/kpj. Kanan kiri jalan dipenuhi pohon pinus. Pucuknya meliuk-liuk ditiup angin di sela semerbak belerang yang meluncur dari atas kawah. Jelang 2 km ke kawah semerbak belerang kian menyengat di tengah sejuknya udara pegunungan.
Sementara itu, di pelataran parkir bus wisata yakni sekitar 1,2 km ke kawah, tampak terlihat belasan bus sedang parkir. Penumpang bus harus berjalan kaki menuju kawah. Jalan setelah lokasi parkir lebih mulus. Jalan tetap menanjak dan berkelok. Saat itu sudah mulai turun kabut. Terlihat antrean kendaraan pribadi mengekor skitar 1 km jelang parkiran kawah Upas, Ratu, dan Baru. Tampak petugas areal wisata sibuk mengatur kendaraan yang hendak naik maupun turun dari kawah.



Domas yang aktif
Setelah mencari tempat parkir yang nyaman, tepat 13.45 WIB, kami tiba di parkiran menuju kawah Domas, di bawah kawah Ratu. Kabut yang turun sudah berubah jadi gerimis. Di sekitarnya marak pohon mangarasa. Tumbuhan yang mirip pohon bakau itu pucuknya yang berwarna merah muda bisa menjadi lalapan dan obat sakit perut. Ribuan pengunjung tampak terlihat. Mereka sibuk menikmati pemandangan dan ada juga yang membeli cindera mata seperti topi bulu dan kalung batu.



Tangkuban Perahu memang cukup populer. Hal itu terlihat dari banyaknya wisatawan mancanegara (wisman) yang asyik menikmati pemandangan nan indah di gunung yang terletak sekitar 30 sebelah utara kota Bandung. Gunung yang wujudnya merupai perahu terbalik itu berada di ketinggian 2.084 meter dari atas permukaan laut. Menurut hikayat, Tangkuban Perahu terbentuk karena kesaktian Sangkuriang. Pria yang mencintai Dayang Sumbi gagal memenuhi permintaan calon pasangan hidupnya itu yakni membuat perahu dalam satu malam. Belum rampung perahunya, kokok ayam dah berbunyi yang berarti sang fajar bakal hadir. Karena marah, perahu tadi ditendang dan akhirnya menjadi gunung. Pastinya, gunung berapi yang terakhir meletus pada 1910 itu, memiliki 9 kawah baik yang aktif maupun yang sudah tidak aktif. Kawah-kawah tersebut adalah Kawah Ratu, Upas, Domas, Baru, Jurig, Badak, Jurian, Siluman, dan Pangguyungan Badak. Kawah Ratu merupakan yang terbesar.
Menurut Esih alias ibu Meri, pemilik warung di depan kami memarkir motor, pengunjung Tangkuban Perahu amat ramai di hari libur. Kawasan yang dibuka untuk umum sejak pukul 6 pagi dan tutup jam 5 sore ini memang sudah terkenal.
Ia mengaku mampu memperoleh pendapatan sekitar Rp 50-100 ribu per hari. Sedangkan biaya operasi tergolong lumayan besar yakni uang sewa lahan sekitar Rp 2 juta per tahun dan pungutan kebersihan dan keamanan yang jumlahnya Rp 2 ribu dan Rp 10 per hari. Di warungnya, Esih menjual aneka minuman ringan dan bir, mie instan, telur, dan sendal jepit. Warung itu beroperasi mulai pukul 06.00 hingga 18.00 WIB. Esih yang sudah berdagang sekitar 18 tahun di areal itu menyebutkan bahwa para pengunjung datang dari berbagai kota.
Niat untuk menyambangi kawah Domas, kawah paling eksotik karena masih aktif dan bisa memasak telur di atas kawah, terpaksa diurungkan karena turun hujan. Terlebih, waktu tempuh menuju kawah membutuhkan sekitar 30 menit dengan jalan yang cukup terjal. Akhirnya, kami memutuskan segera meninggalkan Tangkuban Perahu karena khawatir hujan kian deras sehingga perjalanan memikul risiko yang lebih tinggi. Tepat 15.00 WIB, ketika dingin kian menusuk, meninggalkan parkiran kawah Domas, menuju Jakarta.
Sekitar 25 menit dari Tangkuban Perahu, curah hujan kian deras. Kami memutuskan merapat ke warung di sisi jalan mengarah Subang.Sekitar 10 menit kami beristirahat sambil mampir ke toilet untuk buang air kecil.
Istirahat di warung pinggir jalan tanjakan Emen, tanjakan sepanjang 10 km dari arah Sariater, kami sempat menghirup segelah teh dan kopi hangat dengan ditemani sebatang rokok. Sementara itu, hujan kian deras. Di jalan, berlalu lalang motor dan kendaraan lain. Jalan licin, sesekali terlihat sepeda motor yang tersendat sehingga harus didorong. Sedangkan kebun teh di sisi kanan jalan tampak berkilau mendapat siraman segar air hujan.
Saat meninggalkan warung, hujan kian deras. Jadilah perjalanan diiringi curah hujan. Kondisi jalanan menurun dan cukup panjang, berliku. Jalan mulus, namun kecepatan hanya 20-40 kpj. Melihat jejeran nanas di warung pinggir jalan, hati kami tergoda. Setelah menawar, kami membeli 6 nanas seharga Rp 30 ribu.
Laju perjalanan kami tidak masuk ke kota Subang, melainkan belok kiri di pertigaan Wanayasa. Lalin di rute ini tidak seramai jalan utama. Bahkan cenderung sepi. Jalan mulus, berkelok, dengan pematang sawah di kanan kiri jalan. Dalam kondisi hujan kami masih mampu memacu motor di kecepatan 40-70 kpj.
Perjalanan kali ini cukup melelahkan. Guyuran hujan membuat perut kian keroncongan. Pukul 17.36 WIB, kami singgah di rumah makan Soto Sadang Asli, Purwakarta. Mengingat hujan sudah reda, kami istirahat melepas jas hujan kemudian makan soto ayam. Tepat pukul 19.01 WIB kami meluncur menuju Cikampek. Sempat tertipu rambu lalin karena posisi penempatan yang menurut kami tak lazim. Dari arah pertigaan Cikampek sebelum rel KA, kami melihat rambu lalin yang terbuat dari papan. Rambu tersebut tertulis arah Jakarta belok kiri, namun belokan ke kiri ada dua, mengingat rambu itu berada di tengah-tengah kedua belokan itu, kami memilih belokan yang kedua setelah menyeberang rel KA. Namun, ternyata itu keliru. Terpaksa balik kanan lagi.
Perjalanan dari Cikampek menuju Bekasi cukup mulus, walau sebagian ada yang bergelombang dan tidak memiliki penerangan jalan. Di ruas jalan ini agak banyak bus sedang dan truk yang melintas. Setelah sekitar dua jam berpacu, pada 21.01 WIB kami tiba di pertigaan Kalimalang menuju ke arah Bekasi Barat. Kami akhirnya menelepon bro Rio yang memang sudah janjian untuk singgah. Bro rio tinggal di perumahan Mutiara Gading Timur, Bekasi Timur. Kami disuguhi air jeruk hangat di kedai pecel lele di ruko depan kompleks Mutiara Gading Timur. Selanjutnya kami mampir ke rumah bro Rio. Sang nyonya ikut menyambut kedatangan kami. Meluncurlah kopi hangat dan kacang garing. Di sela perbincangan soal perjalanan duo touring, melintas tukang mie tek tek. Jun dan rio pesan mie tek tek goreng, sedangkan saya versi rebus. Sekitar 23.15, kami berpamitan. Saya menuju rumah di Cibubur, sedangkan Jun ke Pasar Hek, Jakarta Timur, tempat tongkrongan teman-temannya. Jarum jam tepat pukul 00.10 wib, ketika saya memarkir motor di rumah. (edo rusyanto)

6 komentar:

free_adi mengatakan...

mantabbb....!! ayo bung lanjutkan journey mu and write more...
best luck

free_adi mengatakan...

mantabbbbbbb.....!!! ayo bung lanjutkan journey mu.. and write more

Edo Rusyanto mengatakan...

trims bro, kalo ada rezeki dan kesehatan, pingin sih merambah luar jawa. kapan bisa gabung?

Ahmad Musyafak mengatakan...

Luar biasa bang Edo, perjalanan yang menantang dan mantap

http://www.syafak.com

b4ni mengatakan...

Ini test drive bagi Vixion merah dan Pulsar item (serigala) pertama ke luar kota terjauh. Alhamdulillah perjalanan lancar dan selamat sampai tujuan dan kembali ke rumah.
Ditunggu cerita yang lebih heroik dan ngoboi (seperti para bikers di Amerika), tidur tidak di vila atau hotel, tapi di tenda, atau di warung emak di Tangkubanperahu.

Edo Rusyanto mengatakan...

menarik juga usulnya bro bani nih. kapan kita jalan bareng bro? bgm kalo ke ciwidey?

Posting Komentar

Terimakasih atas kunjungan sahabat ke blog ini, Silahkan tinggalkan komentar,kritik dan saran dibawah ini. Untuk menghindari SPAM mohon isi kata verifikasi sebelumnya,trims.

Related Posts with Thumbnails
 
Copyright 2009 Edo Rusyanto's Traffic. Powered by Blogger Blogger Templates create by Deluxe Templates. WP by Masterplan and Arrange by Ian