Info : Silahkan klik di SINI untuk membaca artikel versi wordpress dari Edo Rusyanto

Senin, 11 Mei 2009

21 Jam ke Ujung Genteng


HAMPARAN pasir putih menggoda mata. Riak ombak menerpa sang pasir. Kala kaki menapak, ombak mengejar bak ingin menyapa. Hemmm....rona senja pantai Ujung Genteng selalu menggelora seiring deburan gemuruh di rongga dada.

Perjalanan sejauh 243 kilometer (km) dari Jl Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat ke Ujung Genteng, Sukabumi, Jawa Barat, amat melelahkan. Kantuk menggelayut di pelupuk mata. Maklum, perjalanan dimulai kala jarum jam menunjukkan pukul 00.12 WIB, Jumat (8/5/2009).
Dinginnya udara malam kian menelusup ketika derai gerimis mengguyur bumi. Roda Yamaha V-ixion merah terasa agak licin ketika melintas di aspal sepanjang Jl Raya Bogor hingga ke Cibadak, Sukabumi. Butuh waktu 9 jam 18 menit untuk menjangkau obyek wisata berpasir putih yang juga terkenal karena penyu hijau-nya.
Konvoy 12 sepeda motor dari beragam merek dan kapasitas mesin meluncur mulus. Satu-persatu titik kumpul (tikum) terlewati. Mulai dari Jl Juanda, Depok saat menjemput Tino dan Wisnu, lalu Jl Raya Bogor, Cimanggis tikum penjemputan Bani, stasiun pompa bensin umum (SPBU) Warung Jambu, Bogor, hingga SPBU 3443113 Cikembang, Sukabumi. Jarak Jakarta-Cikembang sekitar 104 km. SPBU ini menjadi tempat peristirahatan sebelum mengarah ke Pelabuhan Ratu. Udara cerah. Saat jarum jam menunjukkan pukul 04.42 WIB, konvoy yang melintasi jalan berkelok, sesekali berlubang, hutan jati, hutan karet, dan pemukiman, akhirnya memilih mesjid Jami Al-Qudsiyyah Cangehgar, Palabuhan Ratu untuk sholat subuh.
Jalan masih sepi ketika meninggalkan mesjid. Sempat kesulitan mencari pertigaan mengarah ke Ujung Genteng. ”Masih jauh, sekitar tiga jam lagi,” ujar seorang jamaah masjid, saat ditanya waktu tempuh ke Ujung Genteng.
Cuaca gelap menyulitkan pandangan. Setelah ’nyasar’ sekitar 3 km, akhirnya ketemu juga persimpangan itu. Ada dua jembatan, pertama Jembatan Kuning yang kini sudah tidak dipakai lagi dan jembatan baru yang aktif sebagai penghubung Citarik menuju Ujung Genteng.
Hasrat mengunjungi wisata pantai Ujung Genteng sudah menggelora sejak awal 2009.
Eksotiknya pantai dengan karang dan pasir putih, membuat kenikmatan tak pernah henti saat mata memandang. Belum lagi penyu hijau dan kehidupan nelayan dengan segala pernak-perniknya. ”Ujung Genteng bak Bali kecil,” tukas Acoy, ketua Panitia Touring ke-10 Independent Bikers Club (IBC).
Karena itu pula, perjalanan melintasi jalan berkelok dan berlubang sepanjang Kiara Dua menuju Jampang Kulon dan Surade, seakan tak melelahkan. Meski ada jurang di kanan kiri, namun pemandangan hutan dan kebun teh menjadi pengobat mujarab. Setelah bermotor hampir tiga jam, memasuki pukul 09.00 WIB, singgah di mulut Jl Surade Kota. Melepas penat dengan menikmati bubur kacang hijau dan segelas teh manis panas. Istirahat sepanjang 20 menit cukup memulihkan stamina. Aroma pantai terasa sudah mengelayut di seisi kepala, walau jarak Surade-Ujung Genteng masih sekitar 25 km. Pedal gas ditancap terus. Kecepatan bisa dipacu hingga 90 per km per jam. Maklum, jalan lurus dan mulus hingga ke ’gerbang’ kawasan Ujung Genteng.
Usai membayar restribusi Rp 2.000 per orang dan Rp 1.000 per motor, laju V-ixion pun dipacu lagi. Rimbunnya pohon kelapa di sisi jalan, seakan memberi isyarat, pantai sudah dekat. Aroma udara laut menyengat di hidung.
Tak sulit mencari letak Deddy Losmen. Di ujung Jl Ujung Genteng, kami berbelok ke kanan. Memasuki jalan conblock sekitar 300 meter dan jalan berpasir putih, serta sesekali melintasi genangan air keruh berpasir. Di kanan jalan, terlihat beragam penginapan. Sedangkan di kiri jalan, laut biru menghampar.
Deddy Losmen adalah penginapan sederhana. Pengunjung dikenai tarif Rp 350 ribu per malam per satu rumah yang berisi dua kamar. Kapasitas kamar bisa menampung maksimal 4 orang. Memili kamar mandi, ruang pertemuan dan beranda. Deddy Losmen memiliki tiga bangunan, termasuk satu aula. Halaman parkirpun lumayan luas, bisa menampung sekitar 100 motor. Dari beranda losmen, terlihat hamparan pasir putih pantai Ujung Genteng.
Jarum jam menunjukkan pukul 10.00 WIB, saat memutuskan untuk istirahat tidur sekitar tiga jam.

Air Terjun Cikaso
Kabupaten Sukabumi memiliki segudang obyek wisata air terjun. Semuanya terletak di pegunungan. Namun, yang tergolong unik adalah Curug Cikaso atau Air Terjun Cikaso. Jaraknya sekitar 33 km dari Ujung Genteng. Arahnya, kembali menuju jalan masuk Ujung Genteng. Waktu tempuh sekitar 40 menit. Keunikan obyek wisata yang gencar dipromosikan sejak 2002 itu, adalah para pengunjung harus naik perahu untuk menjangkau air terjun. Kawasan ini dikelola oleh pemuda sekitar. ”Namun, kalau retribusi Rp 2.000 per orang masuk kas Koperasi Warga Laksana,” ujar Rizal, pemuda yang ikut mengelola sejak 2007.
Untuk sewa perahu bermesin yang berkapasitas maksimal 10 orang penumpang plus 3 awak itu, setiap pengunjung dikenai tarif Rp 70 ribu per 3 jam. Ada sekitar 25 perahu yang beroperasi setiap hari melayani pengunjung. Berapa lama waktu tempuh berperahu? Ternyata tidak lebih dari 6 menit.
Tiga air terjun yang jatuh dari ketinggian sekitar 30 meter itu benar-benar memberi pemandangan tak membosankan. Air di bawah air terjun berwarna hijau jernih. ”Dalamnya sekitar dua meter,” kata seorang pemandu.
Usai melantik dua calon anggota IBC yakni Supri dan Nasir, kami pun memutuskan untuk menikmati segarnya air terjun. Byurrr mandi bersama. Segar.
Udara panas pantai seakan lenyap di bawah air terjun. Maklum, sepanjang Mei ini, merupakan musim angin selatan. Ombak agak besar. ”Nelayan tidak melaut sejak 5 hingga 25 Mei,” jelas Kusnaidi, seorang pengepul ikan di pantai bagian barat Ujung Genteng. Rasanya masih kurang walau telah menghabiskan sekitar 75 menit bermain air di Curug Cikaso. Bagi pengunjung yang menggunakan sepeda motor agar berhati-hati. Jalan berbatu cadas akan menjamu bikers. Jalan yang memasuki areal parkir itu memanjang sekitar 100 meter. Jika tidak waspada, alih-alih bisa tersungkur. Sedangkan aspal sepanjang 8 km dari pertigaan memasuki kawasan PTPN VIII Cikaso tergolong mulus. Sekitar 1 km jelang curug, agak menurun dan sesekali berlubang. Tak pelak, ban roda depan motor Honda Revo milik Supri harus menjadi korban. ”Ban luar dan ban dalam saya sobek, terpaksa harus ganti baru,” papar Supri yang baru saja dilantik.
Jelang petang. Matahari masih gagah menyinari permukaan laut. Pemandangan matahari terbenam bak goresan maestro pelukis. Banyak wisatawan menghabiskan waktu bermanja-manja di tepi pantai. Ada yang berjalan kaki, bercengkerama dengan pasangan, hingga asyik berenang. Dan tentu saja, tak sedikit yang asyik memotret. Termasuk berpose untuk kenang-kenangan saat kembali ke kota. ”Pantainya indah banget. Asyik untuk dipotret,” ujar Mei Mei Riyanto, seorang pengunjung asal Jakarta. Gadis kelahiran Palembang itu seperti tak bosan berpose di bibir pantai. Bahkan, sambil dibenam pasir. Sesekali ia menyibak rambutnya yang sebahu guna menepis air yang luluh di wajahnya. Hemmm....
Hidangan malam dah tersedia saat usai mandi petang hari. ”Udah dipesenin menu ikan tuh,” ujar Nury, wartawati freelance yang hobby fotografi. Ia menjadi salah satu dari 3 lady boncenger yang ikut ke Ujung Genteng. Wanita berparas ayu itu memang ingin bener menikmati renyahnya ikan laut. ”Tapi agak susah mencari ikan saat ini,” ujar Deddy, sang pemilik losmen yang dimintai mencari menu ikan.
Kusnaidi memang sempat berujar, kebanyakan nelayan menjual ikannya kepada para pengumpul. ”Setelah itu, saya jual ke pabrik pengolahan ikan atau dijual ke Muara Angke, Jakarta,” paparnya. Para pengumpul untung besar. Bayangkan, beli ikan Rp 25 ribu per kg dari nelayan, mereka jual sekitar Rp 60 ribu per kg ke pabrik pengolahan. ”Harga ikan tergantung turun naiknnya dolar AS,” kata Kusnaidi lagi.
Usai santap malam. Niat mengunjungi kawasan konservasi penyu hijau pun digeber. Apa daya, baru saja melaju sekitar 50 meter dari penginapan, hujan deras menerpa kami. Segera semua berbalik arah. Nunggu hujan reda di penginapan. ”Killing time, kita ngobrol yuk,” ajak saya kepada beberapa teman. Jadilah perbincangan sana-sini mengalir sambil menikmati penganan kecil. Hujan tak jua reda. Waktu sudah menunjukkan pukul 22.15 WIB. Barulah setengah jam kemudian reda. Tapi semangat menuju lokasi penyu sudah luluh. Mungkin juga karena lelah.
Sekitar pukul 00.00 WIB, Eva dan Mei Mei saya minta istirahat tidur. Nury sudah lebih dulu. Para pria lain sedang asyik bercengkerama sambil menikmati sebatang rokok. Ada juga yang asyik bermain domino.
Lelap membawa saya ke peraduan. Hingga keesokan hari. Jarum jam menunjukkan sekitar pukul 08.00 WIB, saat tukang nasi uduk menjajakan dagangannya di depan pintu penginapan. Lumayan buat ganjel. Harganya Rp 6.000 per bungkus dengan menu telur bulat bersambal.
Masih sempat bermandi pasir dan menikmati segarnya air laut. Namun, sebelumnya jalan-jalan melihat pemukiman nelayan. Ternyata, angin selatan menggoyang perahu nelayan yang diparkir di sisi pantai. ”Hal ini sudah rutin, setiap bulan Mei, ombaknya cukup tinggi,” papar Kusnaidi.
Sekira pukul 12.50 WIB, Sabtu (9/5), konvoy IBC bergegas meninggalkan penginapan. Kembali ke Jakarta. Awan hitam terlihat menggumpal di langit. Baru berjalan sekitar 30 km, Alam selaku sweeper menginformasikan sebagian anggota harus mengisi bensin dan singgah di SPBU setempat. Selaku road captain, saya putuskan berhenti seraya sholat dzuhur di mesjid Ciparay, Jampang Kulon. Waktu menunjukkan pukul 13.50 WIB. Baru saja bergerak sekitar 1 km, hujan pun turun. Tidak ada pilihan. Berhenti menggunakan jas hujan. Hujan rupanya tak henti hingga kami harus singgah di sebuah mesjid untuk menjalankan sholat Maghrib, pukul 18.20 WIB, di kawasan Warung Kiara, Sukabumi. Atau sekitar 90-an km dari Jampang Kulon. Dingin menusuk tulang.
Ganti formasi, Acoy memimpin rombongan. Ironis, kondisi jalan yang licin dan kendaraan yang tidak fit membuat Supri terseok-seok. Tertinggal hampir 5 km di belakang konvoy. Kali ini, saya menemani selaku sweeper. Perjalanan yang melelahkan.
Hujan baru berhenti ketika kami tiba di kawasan Lido, di Jl Raya Sukabumi.
Sesekali bertemu konvoy bikers mengarah ke sukabumi. Mereka memakai light stick, sirene, bahkan strobo. Sabtu itu merupakan hari libur nasional yakni perayaan Waisak, hari besar umat Buddha, tak heran ramai bikers yang berangkat touring.
Perjalanan sepanjang Lido hingga SPBU Padjajaran, Bogor berlangsung mulus. Sesekali tersendat karena keramaian lalulintas di beberapa perempatan jalan, seperti di Cicurug dan Cijeruk. Waktu menunjukkan pukul 22.00 WIB ketika masuk SPBU Padjajaran. Kami briefieng ulang untuk rute. Maklum, sebagian anggota konvoy ada yang berbeda arah pulang. Alam dan Irfan menuju arah Parung, sebagian mengarah ke jalan baru Depok, dan sisanya menelusuri Jl Raya Bogor menuju arah Jakarta. Rasa penat terasa membelenggu tubuh ketika memasuki pintu rumah sekitar pukul 23.15 WIB. Lega rasanya, touring ke-10 IBC kali ini rampung dengan selamat. (edo)



foto: by tino dan bani




0 komentar:

Posting Komentar

Terimakasih atas kunjungan sahabat ke blog ini, Silahkan tinggalkan komentar,kritik dan saran dibawah ini. Untuk menghindari SPAM mohon isi kata verifikasi sebelumnya,trims.

Related Posts with Thumbnails
 
Copyright 2009 Edo Rusyanto's Traffic. Powered by Blogger Blogger Templates create by Deluxe Templates. WP by Masterplan and Arrange by Ian