Sudah sebulan lebih ia merancang perjalanan itu. Niatnya melihat Lombok dari dekat. Melihat danau Kelimutu. Menikmati tiupan angin di sekitar danau. Hemmmm....Indonesia memang Jamrud Khatulistiwa. Serunya dalam hati. Rezeki yang ia peroleh kemarin hanya sebaris kalimat. ”Kamu boleh pergi, aku izinkan. ”Kalimat itu terlontar dari mulut mungil sang kekasih, Lidya.
Bukan karena bagian dari barisan Petasih (pria takut kekasih), tapi ia harus merayu gadis yang ditembaknya saat bertemu dalam sebuah pameran otomotif itu demi rencana yang sudah disusun bersama teman-temannya satu klub. Touring Jakarta-Lombok.
”Aku ingin akhir tahun ini bersama kamu, tahun baruan jadi hambar tanpa mu yang,” rajuk Lidya, suatu senja. Angin sepoi-sepoi pantai Carita, Banten, menjadi saksi, betapa lembutnya gadis 22 tahun itu merajuk manja. Firdan nyaris luluh. Tapi di sisi lain, ia telah merancang perjalanan yang sudah dinantinya sejak tiga tahun terakhir. Hatinya bergolak antara kekasih atau touring?
***
Perjalanan jalur pantai utara (pantura) Jawa, terasa menyesakkan. Teriknya mentari menyebabkan dehidrasi. Ramainya bus dan truk tak mematahkan semangat konvoy 12 sepeda motor sport. Firdan melaju selaku road captain. Sementara Budi selaku sweeper asyik memberi info situasi barisan belakang. Handy talkie yang tak henti diisi informasi menjadi alunan nada yang membakar semangat. Sesekali konvoy terpecah oleh padatnya arus lalulintas di kawasan pasar maupun perempatan jalan. Terpotong traffict light.
Saat istirahat di stasiun pompa bensin umum (SPBU) dekat Kudus, ponselnya berdering. Bergegas ia menjauh untuk mengangkat panggilan. Ia takut komunikasi seluler mengganggu aktifitas pompa bensin.
”Ooooo...kamu say, ada apa?”
“Maaf dik Firdan, ini mamanya Lidya. Mau kasih tahu, Lidya dirawat di rumah sakit.”
”Kenapa tante?”
”Kecelakaan...”
Jawaban singkat dari mamanya Lidya membuat Firdan galau. Budi yang melihat raut wajah Firdan sempat kaget saat Firdan menjelaskan siapa yang telepon.
Situasi menjadi hening. Meski deru suara mesin mobil dan motor menderu lalulalang di sekitar.
”Aku harus kembali ke Jakarta.” Seru Firdan memecah keheningan.
”Ya, kita ngerti kalau tunangan masuk rumah sakit masa kita asyik bersenang-senang,” sergah Budi.
* * *
Deretan jendela putih rumah sakit di bilangan Jakarta Selatan itu seperti enggan menyapa langkah Firdan. Ini hari kedua Lidya tertidur di atas tempat tidur rumah sakit itu. Melihat kekasihnya dibalut gips pada lengan dan kakinya serta wajah yang ditutupi perban menjelaskan demikian dahsyat kecelakaan yang dialami gadis itu. Firdan hanya duduk tersipu di samping gadis pujaannya. Tunangan yang selalu ia banggakan. Lima bulan lagi mereka akan menikah.
”Ia sedang istirahat. Kondisinya membaik kok,” hibur mama Lidya, melihat Firdan hanya menerawang tanpa sepatah kalimat.
Lidya terkapar ketika pulang kerja. Skutik yang ditumpanginya dicium Suzuki Areo di sisi Jl Sudirman, Jakarta Pusat. Sang pengendara mobil mengaku kaget karena skutik di depannya tiba-tiba mengambil jalur kanan. Belakangan ketahuan bahwa langkah Lidya membanting setir ke kanan karena ada penyeberang jalan yang muncul tiba-tiba. Pandanganya terhalang mobil yang ada di depannya. Takut menabrak, ia banting setir ke kanan. Ironis, ada Areo tersebut. Brukkkk!!! Fatal, Lidya hanya menggunakan helm half face. Ia terluka parah.
***
Firdan ingat kisah novel tentang gadis dari India yang terpaksa memikul beban derita akibat kecelakaan. Duka tak berhenti di situ. Sang pujaan hati berpaling ke gadis yang lebih sempurna. Tak lama sang gadis yang ditinggalkan mengambil jalan pintas. Menjatuhkan diri dari atas gedung. Tewas.
Ingatan itu membuatnya galau. Cintanya tak bertepi untuk Lidya. Tapi, bisakah Lidya menjadi ibu dari anak-anaknya kelak? Bisakah dirinya menerima kenyataan bahwa raut wajah dengan bibir mungil itu telah berubah? Lengan itu tak berfungsi lagi. Kaki jenjang yang selama ini ia curi-curi pandang saat disilangkan oleh pemiliknya, juga tak berfungsi.
”Ehhh...melamun lagi. Aku lihat belakangan ini kamu sering melamun kalau sedang berdua aku.” Suara Lidya menghentakkan lamunan Firdan.
”Ehhh...tidak. Aku sedang memikirkan sebagian pekerjaan yang belum rampung tadi,” jawab Firdan sekenanya.
Belakangan komunikasi mereka menjadi kaku. Firdan goyah melihat kondisi Lidya. Ingin ia mengutarakan isi hati yang sesungguhnya. Tapi ada perasaan bersalah dan tidak tega. Dulu ia amat memujanya.
***
Syntha tak pernah tahu bahwa pria yang mulai akrab melalui jejaring Facebook adalah teman kuliah. Hanya saja beda jurusan. ”Fir, kamu angkatan 2000 yah?” tulis Syntha suatu ketika di dinding Firdan.
Tulisan-tulisan di dinding mereka berdua awalnya hanya basa-basi. Belakangan kian menjurus ke curhat. Komunikasi pun tidak lagi melalui dinding, tapi masuk ke pesan pribadi. ”Aku sedang bimbang Syn,” sebait kalimat dikirim Firdan. Perbincangan pun mengalir, kadang diselingi canda. Hingga suatu ketika.
”Ada sesuatu yang lain dari dirimu Syn,” ungkap Firdan memberanikan diri saat mereka berdua di sebuah cafe di Jakarta Pusat.
Firdan tak menduga ia berani melontarkan kalimat itu. Syntha hanya terdiam. Namun, bahasa yang mencuat dari sorot mata mereka berdua berbicara lain. Ada jalinan kasih. Walau mungkin terlarang.
Sejak senja itu, mereka kerap bertemu. Bercanda. Ke toko buku bersama, sesekali menonton film di bioskop. Firdan terlarut.
Petaka memang tak terduga. Tak pernah ada yang meminta. Seperti yang akhirnya dialami Firdan malam itu. Laju Kawasaki Ninja 250 RR terpelanting saat melakukan manuver di sebuah tikungan. Ia terseret bersamaan dengan Ninja Hitam. Beruntung safety gear lengkap mereduksi kondisi yang lebih fatal. Helm nolan, sarung tangan, sepatu tomskin, dan jaket FLM, melindunginya dari maut.
Kesadaran Firdan baru pulih ketika hari keempat ia meringkuk di atas bangsal rumah sakit. Ingin ia berteriak. Melihat sosok tubuhnya yang kini tak bisa lagi memacu Ninja. Tak bisa lagi kopdar apalagi touring. Kakinya harus diamputasi.
***
”Aku tetap menerima kamu apa adanya Fir,” Suara lirih meluncur dari Lidya.
Firdan tak sanggup berkata-kata. Gadis yang pernah ia sakiti justru masih mau menerima kondisi dia apa adanya. Pria yang dulu berselingkuh dan akhirnya ditinggal pergi selingkuhannya karena cacat, masih berharga di mata Lidya. Nyaris Firdan menitikkan air mata. Ia bendung sekuat hati.
Firdan pernah menyebut Lidya sebagai mujizat yang dilimpahkan Dia. Mujizat yang menuntun hidupnya lebih fokus. Mengarahkan pribadi yang ugal-ugalan di jalan menjadi lebih santun berkendara. Kini, ternyata mujizat itu memang benar ada. (edo)
Untuk seseorang yang di sana...
0 komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas kunjungan sahabat ke blog ini, Silahkan tinggalkan komentar,kritik dan saran dibawah ini. Untuk menghindari SPAM mohon isi kata verifikasi sebelumnya,trims.