ORANG memanggilnya Sazkia. Sebenarnya gadis berusia 23 tahun itu memiliki nama lengkap Trinanti Sazkiananta Putri. Profesinya penari streaptis. Jam kerja mulai pukul 20.00 hingga dinihari. Kecuali ada 'pesanan' khusus, ia memilih Senin sebagai hari libur.
Penghasilan per bulan rata-rata Rp 8 juta. Tak heran penampilannya glamour membalut tubuh seksi setinggi 171 cm.
"Sebenarnya lelah bekerja seperti ini mas," ujar Sazkia suatu malam. Rasa lelah itu karena kerap kali ia harus memberikan 'service' tambahan kepada para pelanggan.
Perbincangan mengalir diselingi kepulan asap rokok putih dari bibir mungil gadis kuning langsat itu.
"Memangnya sudah berapa lama menjadi penari?" tanyaku.
"Hampir dua tahun," seru Sazkia, seraya merapihkan rok mininya.
"Aku diajak teman," sambung dia lagi. Sudah enam seloki ia menyeruput red wine. Alunan musik hip hop membahana. Sebagian tamu di cafe asyik mahsyuk.
Ia pun bercerita kisah awal menjadi penari.
"Saat itu situasinya sulit. Aku terpaksa berhenti menjadi resepsionis di sebuah perusahaan swasta di Bandung."
"Lalu?"
"Pergi ke Jakarta, pingin mengubah nasib. Itupun diajak teman. Katanya jadi kasir di restoran. Gajinya dua kalilipat dibanding resepsionis."
"Bagus dong."
Sazkia berhenti bicara. Ia menerima telepon. Tampaknya dari 'klien'.
"Biasa. Orderan buat bos-bos di pasar saham. Mereka ada pesta kecil perpisahan. Oh ya, sampai mana tadi?" Seloroh gadis yang mengaku kerap menerima order seminggu 3 sampai 4 kali.
"Sampai soal kasir," kataku sekenanya.
"Oh iya. Aku hanya dua bulan jadi kasir. Kenalanku mengajak kerja yang lain. Katanya, bisa lebih bisa dapat banyak uang. Awalnya aku ragu," cerita Sazkia, kini ia duduk mendekat di sampingku. Maklum suara musik hingar bingar.
"Hemmm...," gumamku.
"Hemmm...apa?" tanya dia, sambil melirik genit.
"Ya...penasaran aja."
"Aku akhirnya juga penasaran. Kerja apa sih. Ternyata ya begini jadi penari."
"Bagaimana ceritanya?"
"Saat itu aku kalut. Keluarga kami butuh uang. Kakak dan ayahku kecelakaan. Sepeda motornya ditabrak angkot. Ayahku luka parah di kepala dan kakinya patah. Sedangkan kakakku yang bawa motor juga luka parah," cerita Sazkia dengan intonasi suara sedikit parau.
"Saat itu, ayah dan kakakku sepulang kondangan yang jaraknya sekitar 500 meter dari rumah, keduanya tak memakai helm karena jaraknya dekat," urai dia lagi, seraya meraih gelas ke tujuh.
Sazkia menceritakan, keluarganya harus merogoh kocek hampir Rp 80 juta untuk biaya operasi dan perawatan. "Kami terpaksa cari utangan, termasuk ke rentenir. Sudah hampir dua tahun, belum lunas juga, tahun depan baru akan lunas," sergah Sazkia.
Pikiranku menerawang. Membayangkan pedihnya dampak kecelakaan bagi keluarga miskin.
"Hei...malah bengong! Jadi gak nganterin aku ke Hotel Mulia?" Suara Sazkia membuyarkan lamunanku. Kamipun bergegas. Menerabas Jakarta yang tak pernah pulas didekapan malam. (edo rusyanto)
6 komentar:
bro, bicara cerita sazkia, kok fotonya salah satu kantor ternama di jakarta...he...he....
he he he...kan pusat aktifitas ibukota
Sazkia...
hmmm...pernah mendengar nama itu hehehe
ha ha ha...tajam juga pengendusannya nih
Mantap Pak Edo... ditunggu cerpen berikutnya ... eh atau ini kisah nyata ?
trims bro yuan. hemmm...semi fiksi bro, he he he...
Posting Komentar
Terimakasih atas kunjungan sahabat ke blog ini, Silahkan tinggalkan komentar,kritik dan saran dibawah ini. Untuk menghindari SPAM mohon isi kata verifikasi sebelumnya,trims.