Info : Silahkan klik di SINI untuk membaca artikel versi wordpress dari Edo Rusyanto

Minggu, 25 Oktober 2009

Malam Minggu di Margonda


foto:dok src

RIUH suara mesin ratusan motor dan mobil saling bersahutan. Tak jarang terdengar suara lantang aneka klakson. Kerapatan antar kendaraan hanya berjarak centimeter, bukan meter lagi. Jalan Margonda, Depok, Sabtu (24/10) sekitar pukul 21.30 WIB, tak ubahnya ketika di pagi hari ketika warga Depok hendak beraktifitas menuju Jakarta. Padat merayap.

”Whoa (Margonda) kawasan macet tuh kalo malming (malam minggu). Asli macet total. Pada berlomba-lomba ke mall dan kafe-kafe sepanjang Margonda. Ada pelebaran jalan juga. Hati-ati bro,” tulis Merry, teman saya di jejaring sosial Facebook.

Info itu valid. Kemacetan kian bertambah karena ada pelebaran jalan yang belum sepenuhnya rampung. Di tengah itu semua, ada sisi lain kehidupan di Jl Margonda, Depok. Di kanan kiri jalan terlihat sekumpulan parkiran sepeda motor dengan aneka nama kelompok dan jenis sepeda motor.

“Kami sudah dua tahun memakai area ini untuk ajang kumpul,” ujar bro Dika, pentolan
Solidarity Rider Community (SRC).

Komunitas yang eksis sejak 20 Januari 2007 itu, memilih pelataran parkir kantor BRI di sisi kanan Jl Margonda dari arah Jakarta. Jalan Margonda menjadi strategis karena menghubungkan Depok dengan Jakarta, via Jl Raya Pasar Minggu. Akses tersebut menjadi simpul aktifitas mencari nafkah, belajar, hingga rekreasi.

SRC menjadi tempat tujuan saya untuk beranjang sana ke kelompok sepeda motor pada malam itu. Kami sudah janjian sejak sepekan sebelumnya untuk saling berbagi pengalaman mengenai keselamatan bersepeda motor (safety riding).


Soal helm hingga asuransi

Dika menuturkan bahwa komunitasnya masih banyak belajar mengenai safety riding. Jika menilik diskusi komunitas tersebut di jejaring FB, aneka informasi mengenai safety riding banyak mendapat porsi dalam komunikasi mereka. ”Saat ini kami sedang gencar sosialisasikan soal tabel denda tilang bang,” papar Dika.

Obrolan pun mengalir. Sebagai pelengkap saya putarkan video aneka contoh kecelakaan. Antusiasme kian meningkat. ”Apakah helm impor juga harus diberi kode emboss SNI?”tanya bro Bagol.

Sontak saya uraikan bahwa ketentuan Standar Nasional Indonesia (SNI) Wajib untuk helm berlaku bagi seluruh helm yang diperjualbelikan alias beredar di Indonesia. Tujuannya, selain melindungi para pengguna helm, juga untuk melindungi pasar domestik dari serbuan helm impor. Para produsen helm di Indonesia bahkan sudah mampu mengekspor produknya ke Eropa dan Amerika Serikat.

Aturan soal kewajiban para pengendara sepeda motor memakai helm bahkan tertera di UU No 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ). Sanksi pun mengancam para pelanggar ketentuan itu. Pasal 291 ayat (1) menegaskan bahwa siapa pun yang mengendarai sepeda motor namun tidak mengenakan helm standar nasional diancam sanksi kurungan satu bulan atau denda maksimal Rp 250 ribu. Sanksi serupa juga ditujukan kepada pengendara yang membiarkan penumpangnya tidak memakai helm. (pasal 291 ayat 2).

Sejak awal perbincangan senantiasa saya tekankan mengenai pentingnya perilaku bersepeda motor yang bertanggung jawab (responsible riding). Makna dari itu semua adalah senantiasa mentaati aturan lalu lintas dan sikap saling menghargai. Intinya, berkendara yang santun dan bersahabat. Maklum, mayoritas pemicu kecelakaan di jalan yang melibatkan sepeda motor adalah perilaku berkendara yang ugal-ugalan. Tahun lalu, sedikitnya 50 orang tewas setiap hari akibat kecelakaan di jalan. Sebagian besar korban adalah para pengendara sepeda motor.

”Tapi bagaimana jika dinihari? Apakah harus berhenti juga di persimpangan lampu merah. Saya kadang bablas aja, tentu tengok kanan kiri, kalau aman, bablas,” tutur bro David, salah seorang anggota SRC.

Hal ini menjadi menarik karena substansinya adalah, apakah kita berkendara melihat situasi atau tetap sesuai aturan? Semua mahfum, traffic light berwarna merah, semua kendaraan harus berhenti. Tapi ketika dinihari, kadang pengguna jalan mengabaikan karena dianggapnya jalan sepi. ”Belum lagi soal kriminal,” tambah anggota SRC lainnya.

Saya coba sisipkan analogi, jika aturannya dilarang naik jembatan penyeberangan jalan atau trotoar, lalu karena situasinya macet, apakah bikers punya hak menaiki jembatan itu atau trotoar tersebut yang notabene adalah hak pejalan kaki? Analogi itu lumayan menyentuh. Pada hakekatnya, ketaatan pada peraturan lalu lintas bisa mengurangi potensi kecelakaan di jalan.

Tapi bagaimana jika terpaksa mengalami kecelakaan. Hal yang cukup penting adalah setiap pengendara sepeda motor bisa mengurus haknya dari perlindungan asuransi Jasa Raharja dan Bhayangkara. Premi untuk kedua perlindungan tersebut dibayar oleh bikers saat mengurus surat tanda nomor kendaraan (STNK) dan surat izin mengemudi (SIM).

”Apakah klaim asuransi Jasa Raharja bisa berulang-ulang?” tanya bro Cadel. Untuk klaim korban kematian tentu saja hanya satu kali, namun untuk korban luka, sesuai dengan ketentuan batas maksimal. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 36 dan No 37/2008, jumlah santunan untuk korban meninggal akibat kecelakaan transportasi laut dan darat yang semula Rp 10 juta, naik menjadi Rp 25 juta. Lalu, santunan untuk korban cacat tetap yang semula maksimal Rp 10 juta berubah menjadi Rp 25 juta. Sedangkan santunan perawatan yang semula maksimal Rp 5 juta naik menjadi Rp 10 juta, serta biaya pemakaman naik menjadi Rp 2 juta dari sebelumnya hanya Rp 1 juta.
Santunan untuk korban kecelakaan moda angkutan udara tidak berubah, yaitu Rp 50 juta untuk korban meninggal, maksimal Rp 50 juta untuk korban cacat tetap, maksimal Rp 25 juta untuk biaya perawatan. Namun, biaya pemakaman naik 100% dari Rp 1 juta menjadi Rp 2 juta.

Obrolan terus mengalir mengenai aturan belok kiri tidak boleh langsung, kewajiban menyalakan lampu utama di malam dan siang hari, hingga soal penindakan terhadap knalpot yang menimbulkan kebisingan. Tak terasa sudah dua jam lebih bincang-bincang soal safety riding. Sesekali diselingi menikmati martabak manis yang disuguhkan teman-teman SRC. Sementara itu, suara klakson sebagai tanda persahabatan antar kelompok sepeda motor juga sering terdengar dari jalan raya yang berjarak hanya sekitar 10 meter dari tempat kami berbincang. Jalan Margonda adalah salah satu akses untuk para anggota kelompok motor di Jakarta menuju ke luar kota seperti Bogor, Sukabumi atau ke Bandung.
”Kami mau ke Puncak, Bogor, mau ada pelantikan anggota kami,” ujar bro Radityo, dari Freedom Ninja Club (FNC) yang singgah ke tempat kami sharing di SRC.

Jalan Margonda sudah semakin lenggang ketika jarum menunjukkan pukul 00.44 WIB. Angin terasa lebih dingin menyelusup dari sela-sela jaket, ketika saya bergerak meninggalkan basecamp SRC. (edo rusyanto)

0 komentar:

Posting Komentar

Terimakasih atas kunjungan sahabat ke blog ini, Silahkan tinggalkan komentar,kritik dan saran dibawah ini. Untuk menghindari SPAM mohon isi kata verifikasi sebelumnya,trims.

Related Posts with Thumbnails
 
Copyright 2009 Edo Rusyanto's Traffic. Powered by Blogger Blogger Templates create by Deluxe Templates. WP by Masterplan and Arrange by Ian